Pages

Selasa, 16 September 2014

Sejarah Ilmu
1.        Ilmu dalam peradaban Yunani
                        Kemunculan science Eropa dianggap bermula dari para filsuf negara-negara kota Yunani yang mendiami pantai dan pulau-pulau Mediterranian Timur, di akhir abad ke-6 dan ke-5 SM. Karya mereka hanya dikenal melalui cuplikan-cuplikan, rujukan-rujukan, kutipan-kutipan singkat yang dibuat oleh para pengarang yang hidup belakangan. Sebagai contoh ucapan Thales yang dikenal sebagai filsuf tertua, “semuanya adalah air” sebenarnya diikuti dengan cuplikan “dan dunia penuh dengan dewa-dewa”.[1]
                        Ada dua seni yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kematanganya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang yang berdisiplin dalam pengamatan dan Penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis dan masalah-masalah definisi.
2.        Ilmu dalam peradaban Romawi
                        Menjelang berakhirnya periode pra-Kristen, kekaisaran Romawi mwncapai dominasi atas seluruh dunia Mediterania. Peradaban ini begitu canggih dan nyata-nyata modern dalam politik dan personalitasnya, begitu gemar mempelajari disiplin hukum, sangat progresif dalam teknologi-teknologi perang negara dan kesehatan publik, dengan akses langsung kepada kumpulan karya-karya ilmu Yunani, namun gagal menghasilkan ilmuwan seorang pun. Hanya ada dua ilmuwan besar yang hidup pada masa pemerintahan Marcus Aurelius, namun keduanya adalah bangsa Yunani. Galen dari Pergamon, mensistensiskan dan memajukan studi kedokteran, anatomi, dan fisiologi. Ptolemeus dari Alexandria, membawa astronomi matematis yang mendekati kesempurnaan klasik dan juga mencoba membawa pendekatan matematis dan ilmiah menuju ilmu sosial empiris yang paling awal serta prediksi antrologis.[2]
                        Para sejarawan berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi dibidang pengembangan ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi inovasi industri. Barangkali struktur sosial bangsa Romawi yang berkombinasi dengan kelekatanya yang lama terhadap bentuk-bentuk magis, tidak memberikan tempat bagi penghargaan atas komitmen istimewa untuk jalan yang sulit dan berbahaya dalam mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan, yang dapat dilalui lewat penelitian yang berdisiplin terhadap aspek-aspek alamiah yang terpisah-pisah.
3.        Ilmu dalam peradaban Islam
                        Kebuadayaan Islam paling relevan bagi ilmu Eropa karena adanya kontak kultural yang aktif antara negeri-negeri berbahasa Arab dan Eropa Latin pada masa-masa yang menentukan. Penaklukan yang dilakuakan oleh pengikut sang Nabi yang dimulai sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 telah membuat bahasa Arab menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang dari Persia hingga Spanyol. Penakluk Arab membawa kemakmuran dan kedamaian bagi negeri-negeri yang didudukinya. Sebagai contoh, perpustakaan Cordova memiliki 500.000 buah buku pada saat bangsa-bangsa di Pyrenia utara yang hanya mempunyai 5000 buah buku. Melalui para sarjana Kristen yang ada di Syiria, para penguasa Arab yang bertempat di Baghdad pada abad ke-9 memerintahkan penerjemahan besar-besaran terhadap sumber-sumber ilmu Yunani, dan segera sesudah itu peran sarjana Arab sendiri bergerak maju khususnya dibidang matematika, astronomi, optik, kimia, dan kedokteran. Abad ke-12 menunjukan adanya suatu program penerjemahan besar-besaran karya-karya berbahasa Arab kedalam bahsa Latin, mula-mula dibidang astrologi, dan magis, kemudian dibidang kedokteran dan akhirnya dibidang filsafat dan ilmu.[3]
                        Akan tetapi meskipun merupakan pemimpin, bahkan sepanjang masa-masa penerjemahan, peradaban Islam berada dibawah tekanan bangsa-bangsa barbar yang disepanjang wilayah perbatasan kekuasaanya, dan tidak lama berselang peradaban Islam segera mengalami keruntuhan.
           




[1] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2004), 7
[2] Ibid, 14
[3] Ibid, 19-21

MAKALAH ALIRAN MURJIAH (STAIN KEDIRI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Kaum murji’ah adalah kaum yang tidak mau turut campur dalam pertentangan antara kaum yang keluar dari ali dan setia pada ali dan menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya kaum yang bertentangan tadi kepada Tuhan. Aliran murji’ah juga memiliki beberapa golongan atau bisa disebut sekte.
Melalui makalah ini penyusun beraharap pembaca lebih mengenal tentang peradaban islam khususnya pada kaum murjia’ah agar memperluah wawasan tentang ke-Islaman.

B.   Rumusan Masalah
            Melalui makalah ini, penyusun memaparkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?
2.      Apa saja doktrin pada aliran Murji’ah?
3.      Apa saja sekte dalam aliran Murji’ah beserta ajaran-ajarannya?











BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sejarah Aliran Murji’ah
          Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[1]
            Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Seperti telah dibahas, kaum Khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali tetapi kemudian menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, kelompok yang setia pada Ali bertambah keras dan kuat membelanya dan merupakan satu golongan lain yang disebut Syi’ah. Akan tetapi mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berbeda.[2]
            Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan golongan yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur dalam pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.
            Ada beberapa teori tentang kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagsan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Isam ketika terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah. Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah.
            Teori lain mengatakan bahwa Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik oleh cucu Ali, yaitu Al-Hasn bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, kubu yang pro dan kubu yang kontra. Kubu yang kontra akhirya keluar dari Ali, yakni kaum Khawarij. Mereka berpendapat bahwa tahkim merupakan dosa besar dan orang yang melaksanakanya termasuk orang yang kafir. Pendapat ini ditentang oleh kaum Murj’ah.

B.   Doktrin-doktrin Murji’ah
                        Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok. Adapun di bidang teologis doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persolan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di kalangam generasi awal Islam, tobat, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.[3]


                        Doktrin teologi Murji’ah menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok, yaitu :[4]
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakan (pentingnya) iman daripada amal.
4.      Memperbaiki pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah.

C.   Sekte-sekte dan Ajaran Dalam Aliran Murji’ah
            Sekte dalam aliran Murji’ah tidak jelas jumlahnya karena masing-masing ahli memiliki pendapat masing-masing. Al-Baghdadi membagi mereka dalam tiga golongan , yaitu al-Murji’ah yang  dipengaruhi ajaran-ajaran al-Qodariyah, al-Murji’ah yang yang dipengaruhi ajaran-ajaran al-Jabariyah, dan al-Murji’ah yang tidak dipengaruhi keduanya. Golongan ketiga ini terdiri dari lima sekte, yaitu al-Yunusiyah, al-Ghazaniyah, al-Saubaniyah, al-Tumaniyah, dan al-Murisiyah. Al-Asy’ary membagi menjadi 12 golongan, sedangkan al-Syahrastani membagi menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah, dan al-Murji’ah asli.[5]
            Aliaran murji’ah dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem.
            Al-Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umum terdiri dari para fuquha dan muhditsin.[6]      Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, dia akan dihukuk dalam neraka sesuai dosa yang telah diperbuatnya dan kemungkinan Allah bisa mengampuni dosanya. Dengan demikian, Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan dan mengakui pentingnya amal perbutan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk golongan al-Murji’ah moderat, di antaranya al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.[7]
            Golongan al-Murji’ah yang eksterm adalah mereka yang secara berlebihan mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan.[8] Mereka menghargai iman terlalu berlebihan dan merendahkan amal perbuatab tanpa perhitungan sama sekali. Amal perbutan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya berkaitan dengan Tuhan dan hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi orang beriman, perbuatan apapun tidak dapat merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseoarang.
            Adapun yang termasuk al-Murji’ah eksterm sebagai berikut :[9]
1.      Golongan al-Jahmiyah
Golongan ini merupakan para pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan tidak akan menjadi kafir menyatakan kekufuran secara lisan karena iman dan kufur letaknya dalam hati.
2.      Golongan al-Sahiliyah
Golongan ini merupakan pengikut Abu Hasan al-Salahi. Iman adalah mengetahui secara mutlak Tuhan. Kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Yang disebut ibadah adalah iman.
3.      Golongan al-Yunusiyah
Golongan ini merupakan pengikut Yunus bin Aun al-Numairi. Melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.


4.      Golongan al-Ubaidiyah
Pengikut dari Ubaid al-Muktaib. Berpendirian sebagaimana al-Yunusiyah dengan menambahkan jika sesorang mati dalam iman, dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan.
5.      Golongan al-Ghozaniyah
Pengikut Ghassan al-Kuffi, berpendirian bahwa iman adalah mengenal Allah dan Rosul-Nya serta mengakui apa-apa yang diturunkan Allah dan yang dibawa Rosul-Nya.






















BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
       Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan Kholifah setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Diantara pertikaian antara golongan yang setia pada Ali dan keluar dari Ali, munculah satu aliran yang bersikap netral yang tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan tersebut. Golongan yang bersifat netral ini disebut Kaum Murji’ah.
       Kaum Murji’ah penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang terlibat dalam pertentangan antara Ali dan Muawiyah kepada Allah kelak di hari akhir.
       Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Murji’ah Moderat dan Murji’ah eksterm
      
     













DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa           Perbandingan. Jakarta: UI Press
Nurdin, M.Amin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Teruna Grafika
Rozak, Abdul. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia




[1] Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56              
[2] Nasution Harun,2010,Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press). Hal. 24
[3] Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam(Bandung: CV Pustaka Setia). Hal. 58
[4] Ibid. Hal. 58
[5] Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Isalm(Jakarta: Teruna Grafika). Hal. 27
[6] Ibid. Hal. 28
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid. Hal. 22
 

Blogger news

Blogroll

Dancing Spongebob

About